Baca Juga

Pelimpahan Wewenang Bupati/Walikota kepada Camat

Pelimpahan wewenang kepada camat
Camat sebagai salah satu organ pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Pada zaman penjajahan hingga pasca kemerdekaan menempati posisi strategis. Camat mengurus hampir semua urusan pemerintahan yang di wilayah administratifnya. Perubahan politik desentralisasi di Indonesia merubah posisi camat dan kecamatan sebagai wilayah administratif.

Pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974, camat sebagai kepala wilayah mempunyai kewenangan atributif sebagaimana diatur di dalam pasal 80 dan 81 UU tersebut. Kepada setiap orang yang telah dilantik sebagai kepala wilayah, maka pada dirinya secara otomatis telah melekat kewenangan yang diatur di dalam pasal tersebut. Sedangkan menurut pasal 66 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan camat bersifat delegatif, artinya camat baru memiliki kewenangan apabila ada tindakan aktif dari Bupati/ Walikota melimpahkan sebagian kewenangan pemerintahan kepadanya.

Apabila Bupati/Walikota belum melimpahkan sebagian kewenangan pemerintahan kepada Camat, apakah Camat tidak mempunyai kewenangan apa-apa? Mengenai hal ini ada dua pandangan. Pandangan pertama, mengatakan bahwa Camat praktis tidak lagi mampu menjalankan fungsi dengan baik, karena Camat tidak dapat mengambil keputusan-keputusan strategis yang berkaitan kepentingan publik karena dapat menimbulkan implikasi hokum yang melemahkan bagi Camat. Pandangan kedua, menyebutkan bahwa di dalam pemerintahan tidak boleh ada kekosongan kekuasaan, dengan demikian apabila belum ada ketentuan yang seharusnya, maka ketentuan yang lama masih dapat digunakan, yang terpenting pelayanan kepada masyarakat tidak terlantar (prinsip mengutamakan kepentingan umum).

Merujuk pendapat Wasistiono (2005) dikemukakkan pengertian tugas sebagai pekerjaan yang berkaitan dengan status yang harus ditunaikan oleh seseorang. Sedangkan kewenangan adalah kekuasaan yang sah (legitimate power) atau kekuasaan yang terlembagakan (institutionalized power). Dan kekuasaan pada dasarnya adalah merupakan kemampuan yang membuat seseorang atau orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai keinginanya. Dalam pengertian administrasi, hal ini diarahkan untuk mencapai tujuan bersama (organisasi), dengan demikian disimpulkan bahwa dalam kewenangan terdapat kekuasaan , dan sebaliknya. Jadi kewenangan dan kekuasaan pada dasarnya merupakan dua sisi yang tidak dipisahkan.

Menurut Ensiklopedia Administrasi, sebagaimana dikutif oleh Wasistiono (2005), yang dimaksud dengan wewenang adalah hak seseorang pejabat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas serta tanggung jawabnya dapat dilaksanakan dengan berhasil. Sedangkan yang disebut tanggung jawab adalah keharusan pada seseorang pejabat untuk melaksanakan secarah selayaknya segala sesuatu yang telah dibebankan kepadanya. Kewajiban adalah tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Antara tugas, wewenang, tanggung jawab dan kewajiban mempunyai kaitan yang sangat erat yang dapat dibedakan tapi sulit untuk dipisahkan.

Terry (1960) menyatakan bahwa, “authority is the power or the right to act, to command, or toexact action by others”. Kewenangan berkaitan dengan kekuasaan atau hak untuk melakukan atau memerintah, atau mengambil tindakan melalui orang lain. Pada bagian lain oleh Wasistiono (2005) mengemukakkan bahwa pelimpahan kewenangan dari seorang eksekutif atau unit organisasi kepada yang lain untuk menyelesaikan sebagian tugas-tugas tertentu. Sedangkan menurut Terry (1990:299) mengemukakkan bahwa : “delegation means comferring authority from one executive or organizational unit to another in order to accomplish particular assignment”. Artinya pelimphanan kewenangan dapat berasal dari seorang pejabat eksekutif atau satu unit organisasional. Selanjutnya, Terrry (1960:300) mengemukakan tentang adanya dua alasan penting mengenai perlunya pelimpahan kewenangan, yaitu :
  1. Kemampuan seseorang menangani pekerjaan ada batasnya;
  2. Perlu adanya pembagian tugas dan kaderisasi kepemimpinan.

Prinsip-Prinsip Pelimpahan Wewenang

Agar pelimpahan kewenangan dapat efektif, maka perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagaimana dikemukakkan oleh Koontz O Donnel and Weihrich (1980: 425-428) yang mengemukakkan 7 (tujuh) prinsip untuk melakukan pelimpahan kewenangan :
  1. Principle of delegation by results expected;
  2. Principle of functional definistion;
  3. Scalar Principle;
  4. Authority level Principle;
  5. Principle of unity of command;
  6. Principle of absoluteness of responsibility;
  7. Principle of parity of authority and responsibility.
Prinsip pertama, pelimpahan berdasarkan hasil yang diperkirakan, maksudnya adalah pelimpahan diberikan berdasarkan tujuan dan rencana yang telah disiapkan sebelumnya. Perlu tidaknya sebuah kewenangan dilimpahkan, akan tergantung pada hasil yang diperkirakan, apakan menguntungkan bagi pencapaian tujuan organisasi.

Prinsip kedua, pendelegasian berdasarkan prinsip definisi fungsional. Prinsip ini dimaksudkan bahwa pelimpahan kewenangan hendaknya didasarkan pertimbangan-pertimbangan fungsional agar pekerjaan atau tugas tertentu dapat dilaksanakan secara lebih efektif dan efesien. Prinsip ini lebih menekankan pada ketepatan arah pelimpahan sesuai dengan fungsi penerima limpahan. Tidak diharapkan adanya pelimpahan kewenangan kepada unit atau orang yang secara fungsioanl tidak atau kurang terkait.

Prinsip ketiga, prinsip berurutan berdasarkan hierarchi jabatan. Kewenangan yang yang diberikan hendaknya dilimpahkan secara berurutan dari jabatan tertinggi hingga jabatan dibawahnya. Hal ini dimaksudkan agar kewenangan-kewenangan setiap level jabatan lebih jelas tingkat proporsi atau substansinya.

Prinsip keempat, yakni prinsip jenjang kewenangan prinsip ini mengharapkan adanya pelimpahan secara bertahap berdasarkan tingkat kewenangan yang dimiliki pejabat atau satu unit organisasi tertentu. Prinsip ini erat kaitannya dengan prinsip ketiga dimana jejang hirarki berimplikasi kepada tahapan-tahapan pendelegasian wewenang, baik tahap dalam arti proses maupun tahapan dalam arti struktur atau tingkatan organisasi.

Prinsip kelima, yairtu kesatuan komando. Prinsip ini menekankan akan pentingnya satu kesatuan komando dalam pelimpahan kewenangan. Dengan adanya satu komando dapat dihindari kesimpangsiuran ataupun tumpang tindih kegiatan dan tanggung jawab. Apa yang harus dilakukan dan kepada siapa harus bertanggungjawab akan menjadi jelas arahnya.

Prinsip keenam, mengharapkan pelimpahan diimbangi dengan pemberian tanggung jawab yang penuh, pihak yang melimpahkan tidak seharusnya terlalu campur tangan terhadap urusan yang sudah dilimpahkannya. Oleh karena itu kepercayaan penuh dari pemberi limpahan kepada sipenerima limphakan menjadi faktor utama yang diperhatikan oleh sehingga penerima limpahan dapat mengambil keputusan dan dapat mempertanggungjawabkan sepenuhnya kewenangan tersebut.

Prinsip ketujuh, yaitu keseimbangan antara kewenangan dan tanggung jawab, artinya bahwa kewenangan yang dilimpahkan harus dibarengi dengan tanggung jawab yang seimbang. Dalm hal ini proporsi pertanggungjawaban sesuai dengan kewenangan yang diberikan.

Disamping memperhatikan prinsip-prinsip di atas, pelimpahan kewenangan juga memperhatikan nilai 4 E, yakni : a) efektivitas (G.R. Terry, 1961); b) efesiensi (G.R. Terry, 1961); c) equity/keadilan (G. Fredericson, 1982); ekonomis (E.S. Ssavas, 1987).

Dalam konteks Camat, maka pelimpahan kewenangan dari Bupati/Walikota kepada camat, bertujuan:
  1. Untuk mempercepat pengambilan keputusan berkaitan dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat setempat;
  2. Untuk mendekatkan pelayanan pemerintahan kepada masyakat;
  3. Untuk mempersempit rentang kendali dari Bupati/Walikota kepada Kepala Desa/lurah;
  4. Untuk kaderisasi kepemimpinan pemerintahan.
Oleh karena itu, penting diperhatikan bahwa pelimpahan kewenangan bukan hanya sekedar memberikan legalisasi kewenangan kepada camat, melainkan diarahkan pada upaya meningkatkan efektivitas dan efesiensi pelayanankepada masyarakat dengan penggunaan dana dan fasilitas publik secara efektif dan efesien. Pelimpahan kewenangan harus mampu mendorong terciptanya kemudahan dan kecepatan akses bagi masyarakat untuk untuk memperoleh pelayanan, sekaligus juga memberikan memberikan partisipasinya dalam pembangunan.


Pelimpahan Kewenangan

Di dalam manajemen terdapat berbagai prinsip antara lain adanya pendelegasian kewenangan dari pucuk pimpinan kepada orang atau unit yang berada dibawahnya. Pendelegasian kewenangan adalah pelimpahan kewenangan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang diberikan dari pihak atasan kepada bawahan dengan ketentuan :
  1. kewenangan tersebut tidak beralih menjadi kewenangan dari penerima delegasi;
  2. penerima delegasi wajib bertanggung jawab kepada pemberi delegasi;
  3. pembiayaan untuk melaksanakan wewenang tersebut berasal dari pemberi delegasi kewenangan.

Dikaitkan dengan pendelegasian sebagian kewenangan pemerintahan Bupati/Walikota kepada camat, dapat dibedakan adanya dua pola yaitu :
  1. Pola seragam
  2. Pola beranekaragam.

Pendelegasian dengan pola seragam yaitu mendelegasikan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota kepada camat secara seragam tanpa melihat karakteristik wilayah dan penduduknya. Pola ini dapat digunakan untuk kecamatan yang wilayah dan penduduknya relatif homogen. Pola pendelegasian secara seragam memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai berikut:


Kelebihan Pola Pendelegasian Kewenangan Secara Seragam
  1. Relatif lebih mudah membuatnya;
  2. Relatif lebih mudah dalam pengaturan dan pengendaliannya;
  3. Relatif lebih mudah dalam pembinaan personil, penentuan anggaran dan logistik.

Kekurangan Pola Pendelegasian Kewenangan Secara Seragam
  1. Kurang responsif terhadap kebutuhan masyarakat;
  2. Penyediaan personil, anggaran dan logistik tidak sesuai dengan kebutuhan nyata kantor camat sehingga sulit untuk mencapai efektivitas dan efisiensi.
  3. Sulit untuk mengukur kinerja organisasi secara obyektif.

Pendelegasian dengan pola beranekaragam yaitu mendelegasikan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota kepada camat dengan memperhatikan karakteristik wilayah dan penduduk masing-masing kecamatan. Pada pola ini ada dua macam kewenangan yang dapat didelegasikan yakni kewenangan generik, yakni kewenangan yang sama untuk semua kecamatan, serta kewenangan kondisional yaitu kewenangan yang sesuai dengan kondisi wilayah dan penduduknya.

Kewenangan atributif yang bersifat generik misalnya dapat ditetapkan di dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri, seperti yang diamanatkan pasal 12 ayat (5) PP Nomor 8 Tahun 2003. Di dalam Lampiran I Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 158 Tahun 2004 tentang Pedoman Organisasi Kecamatan antara lain dimuat kewenangan-kewenangan pemerintahan yang didelegasikan kepada Camat yaitu sebagai berikut :
  1. Bidang pemerintahan mencakup 17 aktivitas ;
  2. Bidang ekonomi dan pembangunan mencakup 8 aktivitas;
  3. Bidang pendidikan dan kesehatan mencakup 8 aktivitas;
  4. Bidang sosial dan kesejahteraan rakyat mencakup 6 aktivitas;
  5. Bidang pertanahan mencakup 4 aktivitas.

Kewenangan atributif yang diatur di dalam Kepmendagri tersebut di atas bersifat ATRIBUTIF TENTATIF, karena Bupati/Walikota diberi peluang untuk memilih sesuai karakteristik wilayah dan kebutuhan daerah.

Di dalam pasal 2 ayat (2) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 158 Tahun 2004, dikemukakan kedudukan tambahan bagi Camat yaitu sebagai koordinator pemerintahan di wilayah kerjanya. Kedudukan tambahan tersebut menimbulkan konsekuensi logis adanya kewenangan atributif lainnya yakni mengkoordinasikan kegiatan instansi pemerintah baik instansi vertikal maupun dinas daerah yang ada di wilayah kecamatan.

Telah dijelaskan bahwa pola pendelegasian kewenangan yang serba seragam maupun yang beraneka ragam memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan pola beranekaragam dapat diinventarisasi sebagai berikut :


Kelebihan Pola Pendelegasian Kewenangan Secara Beranekaragam:
  1. Lebih responsif terhadap kebutuhan pelayaanan masyarakat ;
  2. Kebutuhan personil, anggaran dan logistik dapat dihitung secara obyektif dan rasional;
  3. Memudahkan dalam pengukuran kinerja.

Kelemahan Pola Pendelegasian Kewenangan Secara Beranekaragam:
  1. Memerlukan waktu dan tenaga untuk menyusunnya;
  2. Agak sulit dalam pengendalian dan pengawasan;
  3. Memerlukan personil yang memiliki kualifikasi sesuai dengan kebutuhan pelayanan masyarakat.
  4.  
     

Faktor-Faktor Penentu dan Jenis Pelimpahan Wewenang

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mendelegasikan kewenangan dengan menggunakan pola beranekaragam yaitu sebagai berikut:
  1. Karakteristik geografis (daratan atau kepulauan, dataran atau pegunungan);
  2. Karateristik penduduk dilihat dari mata pencaharian dan tingkat pendidikannya;
  3. Karakteristik wilayahnya (perkebunan, perhutanan, perindustrian, perumahan, Pariwisata dlsb).

Adapun jenis-jenis kewenangan yang dapat didelegasikan kepada camat dapat dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) macam sebagai berikut :
  1. kewenangan perijinan;
  2. kewenangan rekomendasi;
  3. kewenangan koordinasi;
  4. kewenangan pembinaan;
  5. kewenangan pengawasan;
  6. kewenangan fasilitasi;
  7. kewenangan penetapan;
  8. kewenangan pengumpulan data dan penyampaian informasi;
  9. kewenangan penyelenggaraan.

Pendelegasian sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota kepada camat dilakukan dengan menerbitkan Surat Keputusan Bupati/Walikota, bukan dengan Peraturan Daerah. Pertimbangannya adalah bahwa yang didelegasikan adalah kewenangan pejabat (Bupati/Walikota) kepada pejabat bawahannya (camat).

Untuk menjalankan kewenangan yang telah didelegasikan oleh Bupati/ Walikota, camat memerlukan dukungan organisasi. Tugas pokok dan fungsi organisasi kecamatan diatur dengan Peraturan Daerah, sama seperti pengaturan tugas, pokok dan fungsi perangkat daerah lainnya. Sebab pembentukan organisasi akan berkaitan dengan personil dan pembiayaan yang memerlukan persetujuan DPRD.

Pendelegasian sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota kepada camat dapat dilaksanakan apabila memenuhi empat prasyarat sebagai berikut:
  1. Adanya keinginan politik dari Bupati/Walikota untuk mendelegasikan sebagian kewenangan pemerintahan kepada camat;
  2. Adanya kemauan politik dari Bupati/Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota untuk menjadikan kecamatan sebagai pusat pelayanan masyarakat bagi jenis-jenis pelayanan yang mudah, murah, dan cepat.
  3. Adanya kelegawaan dari dinas dan atau lemtekda untuk melimpahkan sebagian kewenangan teknis yang dapat dijalankan oleh camat, melalui keputusan Kepala Daerah.
  4. Adanya dukungan anggaran dan personil untuk menjalankan kewenangan yang telah didelegasikan.

Adapun langkah-langkah teknis yang perlu dilakukan untuk dapat merumuskan dan mengimplementasikan pendelegasian sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota kepada camat yaitu sebagai berikut :
  1. Melakukan inventarisasi bagian-bagian kewenangan dari Dinas dan atau Lemtekda yang dapat didelegasikan kepada camat melalui pengisian daftar isian.
  2. Mengadakan rapat teknis antara pimpinan dinas daerah dan atau lemtekda dengan camat untuk mencocokkan bagian-bagian kewenangan yang dapat didelegasikan dan mampu dilaksanakan oleh camat.
  3. Menyiapkan rancangan keputusan Bupati/Walikota untuk dijadikan Keputusan.
  4. Menata-ulang organisasi kecamatan sesuai dengan besaran dan luasnya kewenangan yang didelegasikan untuk masing-masing kecamatan.
  5. Mengisi organisasi dengan orang-orang yang sesuai kebutuhan dan kompetensinya, apabila perlu diadakan pelatihan teknis fungsional sesuai kebutuhan.
  6. Menghitung perkiraan anggaran untuk masing-masing kecamatan sesuai dengan beban tugas dan kewenangannya, dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan pemerintah daerah bersangkutan.
  7. Menghitung perkiraan kebutuhan logistik untuk masing-masing kecamatan.
  8. Menyiapkan tolok ukur kinerja organisasi kecamatan.
  9.  
     

Penarikan Kewenangan

Sebagian kewenangan pemerintahan yang telah didelegasikan oleh Bupati/ Walikota kepada Camat pada suatu saat dapat saja ditarik kembali. Adapun alasan penarikan kembali kewenangan yang telah didelegasikan antara lain:
  1. Kewenangan yang telah didelegasikan tidak dilaksanakan dengan baik;
  2. Setelah dilaksanakan ternyata pendelegasian kewenangan yang dijalankan oleh camat justru menimbulkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan;
  3. Pelaksanaan kewenangan yang didelegasikan dampaknya telah meluas melampaui satu kecamatan, sehingga perlu ditarik kembali ke tangan Bupati/ Walikota.
  4. Adanya kebijakan baru di bidang pemerintahan sehingga kewenangan yang selama ini dijalankan oleh Camat dengan berbagai pertimbangan kemudian ditarik kembali dan atau dipindahkan pelaksanaannya kepada unit organisasi pemerintahan yang lainnya. Misalnya kewenangan di bidang pertanahan, kependudukan, pemilihan umum dan lain sebagainya.

Apabila pendelegasian sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/ Walikota kepada camat dilakukan dengan Keputusan Bupati/Walikota, maka penarikan kewenangannyapun harus dilakukan dengan Keputusan yang setingkat yakni Keputusan Bupati/Walikota. Penarikan kembali kewenangan yang didelegasikan harus dilakukan secara hati-hati dan cermat, jangan sampai menimbulkan masalah di kemudian hari atau menimbulkan penolakan dari masyarakat yang dilayani.

Sesuai dengan data dokumen yang kaji, di samping camat menangani urusan daerah juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi :
  1. Mengkoordinasikan penerapan upaya penyelenggaraan ketenteraman danketertiban umum;
  2. Mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;
  3. Menkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkatkecamatan;
  4. Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan;
  5. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa/kelurahan.

Camat sebagai perangkat daerah juga mempunyai kekhususan jika dibandingkan dengan perangkat daerah lainnya dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya untuk mendukung pelaksanaan azas desentralisasi. Kekhususan tersebut yaitu adanya suatu kewajiban mengintegrasikan nilai-nilai sosio-kultural,menciptakan stabilitas dalam dinamika politik, ekonomi dan budaya, mengupayakan terwujudnya ketentraman dan ketertiban wilayah sebagai perwujudan kesejahteraan rakyat serta masyarakat dalam kerangka membangun integrasi kesatuan wilayah.

Dalam hal ini, fungsi utama camat selain memberikan pelayanan kepada masyarakat, juga melakukan tugas-tugas pembinaan wilayah. Secara filosofis, kecamatan yang dipimpin oleh camat perlu diperkuat dari aspek sarana prasarana, sistem adminitrasi, keuangan dan kewenangan bidang pemerintahan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan sebagai ciri pemerintahan kewilayahan yang memegang posisi strategis dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatan pemerintahan kabupaten/kota yang dipimpin oleh bupati/walikota. Sehubungan dengan itu, camat melaksanakan kewenangan pemerintahan dari dua sumber yaitu bidang kewenangan dalam lingkup tugas umum pemerintahan dan kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Untuk memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat atau mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, maka kecamatan memegang peran yang sangat urgen dan strategis.

Dalam konteks ini, diperlukan adanya pemikiran untuk mempertajam otonomi dan pemberdayaan organisasi kecamatan sebagai ujung tombak pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah kabupaten/kota kepada kecamatan (camat) sesuai amanat UU 32/2004, pasal 126 ayat 2, bahwa camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota. Kewenangan ini sendiri ditilik dari sumbernya, dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu kewenangan atributif dan delegatif, berbeda dengan aturan sebelumnya (UU 22/1999 pasal 66 ayat 4) dimana kewenangan camat hanya bersifat delegatif. Tujuan pelimpahan kewenangan tersebut untuk memberikan batasan yang jelas tentang kewenangan kecamatan, mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.

Memperpendek rentang kendali bupati/walikota kepada desa/kelurahan yang bermuara pada penguatan institusi kecamatan. Hal ini sejalan dengan upaya penataan kelembagaan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003, yang mengatur tentang upaya penyederhanaan organisasi (rightsizing) dalam rangka untuk mengembangkan organisasi yang lebih proposional, datar (flat) transparan, hierarki yang pendek serta kewenangan yang terdesentralisasi (Wasistiono, 2002). Pelimpahan kewenangan Pemerintah kabupaten/kota kepada kecamatan perlu ditelaah dan dikaji secara detail, karena tidak secara keseluruhan kewenangan bisa diberikan kepada kecamatan, tetapi didasarkan atas berbagai aspek pertimbangan. Menurut kelompok kami, ada empat prasyarat pelimpahan kewenangan tersebut, yaitu :
  1. Adanya kemauan politik dari bupati/walikota.
  2. Kemauan politik dari pihak eksekutif dan legislatif.
  3. Kelegawan dari Dinas dan Lembaga Teknis Daerah untuk melimpahkan kewenangan teknis yang dapat dijalankan oleh kecamatan melaluikeputusan buapti/walikota.
  4. Dukungan anggaran dan personil dalam menjalankan kewenangan yang telah didelegasikan.
Berhubungan dengan penjelasan tersebut, sesuai PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan PP 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan, maka kedudukan Kecamatan adalah sebagai perangkat daerah pelaksana tugas kewilayahan, 2 (dua) makna utama dari posisi ini adalah sebagai pembina kewilayahan dan penyelenggara pelayanan masyarakat. Pelimpahan sebagian kewenangan/urusan pemerintah daerah kabupaten/kota kepada kecamatan ini sebagai konsekuensi kebijakan dari kewenangan kecamatan perlu diperluas, tidak hanya bersifat administratif-koordinatif semata, namun hendaknya juga mengandung substansi pemerintahan, antara lain berupa kewenangan penetapan kebijakan, pembinaan dan pengawasan, penyelenggaraan pelayanan/perizinan, serta kewenangan merencanakan, mengkoordinasikan, mengawasi dan mengevaluasi proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang dilaksanakan baik oleh unit kerja/instansi vertikal pemerintah di wilayah maupun oleh swasta.

Pembenahan spesifik tentang organisasi kecamatan secara regelutif diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 19/2008 tentang Kecamatan. Ada banyak kecamatan mengalami kendala dalam penyelenggaraankewenangan yang diberikan oleh pemerintah Kota. Hal ini disebabkan kewenangan yang diatur masih bersifat umum (kewenangan atributif) dan sangat sedikit sesuai dengan UU 32/2004, pasal 126 ayat 3, serta belum terinci dengan jelas bidang dan jenis kewenangan apa yang diberikan kepada kecamatan. Kewenangan Camat yang dilimpahkan oleh Walikota lebih terfokus pada aspek tugas dan tanggung jawabnya daripada aspek kewenangannya itu sendiri. Selain itu, karena kewenangan yang didistribusikan bersifat general, maka pengaruhnya terhadap format pendelegasian kewenangannya berlaku seragam untuk semua kecamatan.

Di tengah semangat membangun otonomi, adalah hal ironis bahwa kewenangan dan sumber daya besar yang dimiliki Kabupaten/Kota kurang berdampak pada pemberdayaan Kecamatan dan Kelurahan. Padahal Kecamatan dan Kelurahan inilah yang semestinya diposisikan sebagai ujung tombak pelayanan kepada masyarakat. Otonomi boleh saja menjadi domein Pemkab/Pemkot, namun front line dari sebagian fungsi pelayanan mestinya diserahkan kepada Kecamatan dan Kelurahan, disamping kepada Dinas Daerah. Dengan demikian, Pemkab/Pemkot perlu lebih mengedepankan fungsi-fungsi steering seperti koordinasi, pembinaan, fasilitasi, dan pengendalian, dari pada fungsi rowing atau penyelenggaraan langsung suatu urusan.

Tuntutan memberdayakan Kecamatan dan Kelurahan ini adalah sebuah keniscayaan. Sebab, sejak berlakunya UU No. 22/1999, ada beberapa perubahan signifikan yang menyangkut status, fungsi dan peran Kecamatan. Saat ini, Kecamatan bukan lagi sebagai perangkat kewilayahan yang menyelenggarakan fungsi-fungsi dekonsentrasi dan tugas pembantuan, namun menjadi perangkat daerah otonom. Itulah sebabnya, dalam pasal 66 diatur bahwa “Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota”. Pasal ini mengandung pengertian bahwa Kecamatan berfungsi atau berperan menjalankan sebagian kewenangan desentralisasi. Sementara itu, pasal 67 mengatur bahwa Kelurahan merupakan perangkat Kecamatan, sehingga wajarlah jika Lurah sebagai Kepala Kelurahan menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Camat.

Dari perspektif administrasi publik, pelimpahan kewenangan dari Bupati/Walikota kepada Camat, dan dari Camat kepada Kelurahan ini bukan hanya sebuah kebutuhan, namun lebih merupakan suatu keharusan untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan umum di daerah. Sebab, jika kewenangan dibiarkan terkonsentrasi di tingkat Kabupaten/Kota, maka akan didapatkan paling tidak dua permasalahan.
  1. Pemkab/Pemkot akan cenderung memiliki beban kerja yang terlalu berat (overload) sehingga fungsi pelayanan kepada masyarakat menjadi kurang efektif. Disisi lain, sebagai akibat kewenangan yang terlalu besar, maka organisasi Kabupaten/Kota juga didesain untuk mewadahi seluruh kewenangannya sehingga justru menjadikan format kelembagaan semakin besar dan tidak efisien.
  2. Kecamatan sebagai perangkat Kabupaten/Kota dan Kelurahan sebagai perangkat Kecamatan akan muncul sebagai organisasi dengan fungsi minimal. Apa yang dilakukan oleh Kecamatan dan Kelurahan hanyalah tugas-tugas rutin administratif yang selama ini dijalankan, tanpa ada upaya untuk lebih memberdayakan kedua lembaga ini. Hal ini sekaligus mengindikasikan adanya pemborosan organisasi yang luar biasa.

Disisi lain, upaya melakukan pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Walikota kepada Camat pun masih akan menghadapi beberapa kendala, yakni:
  1. Kecamatan selama ini terbiasa menjalankan kewenangan yang bersifat atributif, yakni kewenangan yang melekat pada saat pembentukannya. Akibatnya, pola kerja kecamatan terlihat kaku, mekanis dan cenderung kurang dinamis. Oleh karena itu, jika kecamatan akan diberi kepercayaan menjalankan kewenangan tambahan yang bersifat delegatif, maka perlu dikaji secara mendalam kewenangan apa saja yang layak dan prospektif untuk diemban oleh kecamatan. Sebab, pelimpahan kewenangan yang asal-asalan justru akan berdampak pada ketidakmampuan kecamatan melaksanakan kewenangan tersebut, serta terjadinya penurunan mutu pelayanan umum.
  2. Kondisi obyektif kecamatan dapat dikatakan kurang mendukung kebijakan tentang pelimpahan kewenangan. Jumlah dan kualitas SDM yang minim, sarana kerja yang konvensional, sumber dana yang terbatas, adalah beberapa fakta riil yang perlu diperkuat sebelum pelimpahan kewenangan direalisasikan. Namun secara logika, pengembangan kelembagan akan terlebih dahulu diprioritaskan kepada Kecamatan mengingat telah dilimpahkannya sebagian kewenangan Bupati/Walikota kepada Camat.
  3. Satu hal yang perlu dicatat adalah, meskipun banyak kendala yang harus diatasi, namun pemberdayaan Kecamatan melalui pelimpahan kewenangan beserta sumber daya pendukungnya adalah langkah terbaik untuk mewujudkan cita-cita pemberian otonomi, yakni peningkatan kesejahteraan dan pelayanan umum, serta kehidupan masyarakat daerah yang lebih demokratis.

Mengingat hal diatas, maka pendelegasian atau pelimpahan sebagian wewenang dari atas (dari Bupati/Walikota ke Camat dan dari Camat ke Lurah) perlu diupayakan seoptimal mungkin. Tujuannya jelas, yaitu untuk mempercepat proses sekaligus meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. Pada saat yang bersamaan, kebijakan ini akan meringankan beban beban Daerah, sehingga penyelenggaraan pemerintahan umum diharapkan akan semakin efektif dan efisien. Dan sungguh patut disyukuri bahwa banyak Bupati/Walikota di Indonesia yang sudah melakukan pelimpahan kewenangan kepada Camat di wilayahnya masing-masing. Meskipun pelimpahan kewenangan ke unit organisasi yang lebih rendah perlu terus dimantapkan, namun harus dicermati pula bahwa kebijakan ini membawa konsekuensi di berbagai hal.

Dalam hal ini, paling tidak ada 3 dimensi strategis pada level Kecamatan yang perlu diperhatikan untuk menjamin keberhasilan kebijakan tersebut.
  1. Menyangkut aspek koordinasi antar lembaga dan standarisasi tata kerja. Artinya, sebagai konsekuensi dari pelimpahan kewenangan, Camat wajib melakukan koordinasi dengan Dinas/Lemtek, khususnya untuk hal-hal yang bersifat teknis operasional. Dalam kaitan dengan koordinasi ini, perlu dipertegas antara tugas dan kewajiban Kecamatan disatu pihak dengan tugas dan kewajiban Dinas/Lemtek di pihak lain. Hal ini sangat penting agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan kewenangan tertentu. Dalam hal pemberian IMB misalnya, perlu ada kejelasan tentang apa yg harus disediakan dan/atau dilakukan Dinas dan Cabang Dinas Bangunan, apa yang harus disediakan dan/atau dilakukan Kecamatan, serta tata laksana antara kedua pihak lengkap dengan standar waktu dan sumber pembiayaannya. Tanpa adanya kejelasan tentang pembagian tugas, tata kerja, standar kerja serta sumber pendukung, pelimpahan kewenangan dikhawatirkan justru akan membingungkan masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan publik.
  2. Berkenaan dengan kebutuhan perimbangan sumber daya keuangan, SDM dan sarana. Adalah hal yang logis jika pelimpahan kewenangan harus diikuti pula oleh pemberian sumber-sumber daya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan kewenangan tersebut. Sebagaimana halnya perimbangan sumber daya antara Pusat dan Daerah, pelimpahan kewenangan di tingkat loka lpun harus diikuti oleh perimbangan sumber-sumber daya. Tanpa adanya penguatan sumber daya, Kecamatan akan mengalami over-load dalam tugas-tugasnya, dan kewenangan yang dilimpahkan tidak akan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Jika ini terjadi, maka tujuan pelimpahan kewenangan dapat dikatakan mengalami kegagalan.
  3. Mengenai kebutuhan pengembangan struktur organisasi kecamatan Dengan bertambahnya kewenangan dan sumber-sumber daya, maka sangatlah wajar jika struktur organisasi Kecamatan perlu dikembangkan atau diperkuat. Pada saat yang bersamaan, organisasi pemerintah Kabupaten/Kota, perlu dirampingkan. Jika kewenangan-kewenangan teknis suatu Dina / Cabang Dinas telah dilimpahkan kepada Kecamatan sementara kelembagaannya justru membengkak dengan dibentuknya cabang-cabang Dinas baru, maka akan terjadi inkonsistensi antara pemegang dan pelaksana kewenangan. Salah satu prinsip dalam distribusi kewenangan yang harus dijaga adalah tidak adanya kewenangan yang dimiliki dan / atau dilaksanakan secara bersama-sama oleh lebih dari satu lembaga. Oleh karena itu, untuk menghindari kewenangan rangkap tadi, suatu kewenangan mestinya hanya dilaksanakan oleh lembaga yang memiliki dan/atau diberi delegasi untuk melaksanakannya.

Sumber:
Source: http://ismailnurdin.ipdn.ac.id/?p=83
Soucre: https://plus.google.com/+VianMolo/posts/hoGUtZBRMLj

Next : Konsep Kewenangan dan Pelimpahan Kekuasaan
Preview : Peran Good Govermance Mempengaruhi Ekologi Pemerintahan